Wednesday, March 16, 2016

Masuknya Islam ke Minangkabau

Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA

Kedatangan Islam ke Nusantara, berdasarkan riwayat-riwayat yang dikemukakan historiografi, bahwa Islam datang ke Nusantara berasal dari Arabia pada abad pertama Hijri atau pada abad ke 7 Masehi. Para ilmuan telah menyepakati ini pada seminar yang diselenggarakan pada 1969.  Azra menulis, teori ini mematahkan teori-teori yang menyebutkan Islam datang ke Nusantara berasal dari India dan Gujarat pada abad ke-12 atau 13 Masehi. [1]

Kedatangan Islam yang langsung dari Arabia, sebagaimana diungkap Marrison membantah teori sejumlah sarjana Belanda, yang memegang keyakinan bahwa Islam yang datang ke Nusantara berasal dari anak benua India dan Gujarat. Bantahan Marrison ini didasarkan kepada fakta, bahwa pada sa’at Islamisasi Samudera Pasai, yang raja pertamanya yang wafat pada 698/1297, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Barulah 1 tahun sesudahnya Cambay, Gujarat ditaklukkan kekuasaan Muslim. Dalam pandangannya, para pedagang Arab yang dominan dalam perdagangan Barat-Timur pada abad pertama Hijri atau abad 7 Masehi, juga menyebarkan Islam pada setiap daerah yang disinggahinya yang di antaranya adalah Nusantara.[2]

Teori Islam yang datang langsung Arabia juga dipegang oleh Crawfurd, serta Niemann dan de Hollander dengan sedikit merevisi pendapat Kejzer yang mengatakan Islam Nusantara datang dari Mesir dengan alasan kesamaan mazhab fiqih. Niemann dan Hollander berpandangan dan menegaskan bahwa Islam Nusantara bukan datang dari Mesir, akan tetapi dari Hadhramawt. Teori ini juga dikuatkan oleh Naquib al-Attas.[3]

Berdasarkan pandangan para sejarawan di atas, dapat disimpulkan bahwa kedatangan Islam ke Nusantara adalah pada abad 7 M / 1 H yang langsung datang dari Arabia, sedangkan konversi besar-besaran penduduk Nusantara berlangsung pada abad 13 M. Sebagaimana dijelaskan oleh Azra, A.H Johns mengemukakan dengan mempertimbangkan kecilnya kemungkinan bahwa para pedagang memainkan pengaruh besar dalam penyebaran Islam, ia mengajukan bahwa para sufi pengembaralah yang terutama melakukan penyebaran Islam dan berpengaruh besar terhadap Islamisasi besar-besaran penduduk Nusantara. Faktor utama keberhasilan para sufi ini adalah kemampuan para sufi menampilkan Islam dalam kemasan yang atraktif, khususnya dengan menekankan kesesuaian dengan Islam atau kontiniutas, ketimbang  perubahan dalam kepercayaan dan praktek keagamaan lokal secara radikal.  [4]

Alasan yang dipakai Johns adalah banyaknya ditemukan sumber-sumber lokal yang mengaitkan pengenalan Islam ke kawasan ini dengan guru-guru pengembara dengan karakteristik sufi yang kental. Karakteristik mereka secara rinci adalah, “ Mereka adalah para penyiar (Islam) pengembara yang berkelana di seluruh dunia yang mereka kenal, yang secara sukarela hidup dalam kemiskinan; mereka sering berkaitan dengan kelompok-kelompok dagang atau kerajinan tangan , sesuai dengan tarekat yang mereka anut; mereka mengajarkan teosofi sinkretik yang kompleks, yang umumnya dikenal baik orang-orang Indonesia,  yang mereka tempatkan ke bawah (ajaran Islam), (atau) yang merupakan pengembangan dari dogma-dogma pokok Islam; mereka menguasai ilmu magis, dan memiliki kekuatan untuk menyembuhkan; mereka siap memelihara kontiniutas dengan masa silam, dan menggunakan istilah-istilah dan unsur-unsur kebudayaan pra Islam dalam konteks Islam”. Johns menguatkan hujjahnya bahwa tarekat sufi tidak menjadi ciri dominan dalam perkembangan dunia Muslim sampai jatuhnya Bagdad ke tangan lascar Mongolia pada 656/1257. Sebagimana juga Gibb yang mencatat bahwa setelah kejatuhan Bagdad, kaum sufi memainkan peranan  kian penting dalam memelihara keutuhan dunia Muslim  dengan menghadapi tantangan kecenderungan pengepingan kawasan-kawasan kekhalifahan ke dalam wilayah-wilayah linguistic Arab, Persia, dan Turki. Adalah pada masa ini tarekat sufi secara bertahap menjadi intitusi yang stabil dan disiplin, dan mengembangkan afiliasi dengan kelompok-kelompok dagang dan kerajinan tangan (thawa’if) , yang turut membentuk masyarakat urban. Lebih awal perkiraan ini, Bulliet menyatakan bahwa pada abad ke 10 dan 11ketika Bagdad mengalami kemerosotan, tokoh-tokoh sufi banyak melakukan perpindahan dan pengembaraan ke berbagai wilayah yang ia kenal. Hal inilah yang diistilahkannya dengan kebangkitan para ulama akan kesadaran mereka tentan krusialnya peran mereka dalam menyebarkan dan memelihara keutuhan pengaruh Islam.[5]

Hodgson menyebutkan telah terjadinya internasionalisasi “universalisasi” Islam Sunni pada pada abad ke 11. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya ulama Sunni Bagdad bagian barat yang melakukan pengembaraan. Lebih mencolok katanya, di Persia dalam periode yang sama, Persia kehilangan banyak ulama Sunni. Inilah yang menyebabkan bertumbuhnya Syi’ah di Persia. Migrasi ini ikut ambil andil besar dalam proses konversi besar penduduk yang mendiami anak benua India dan Eropah Timur dan Tenggara dan Nusantara pada abad 10 dan akhir abad 13.[6]

Dalam konteks Minangkabau, kedatangan Islam diperkirakan oleh para sejarawan juga sudah berlangsung mulai pada abad ke 7 M. Kedatangan ini melalui jalur timur sumatera atau Minangkabau Timur yang terhubung dengan selat Malaka. Sementara melalui jalur pantai barat sejarawan baru memperkirakan pada abad 16/17 M walaupun dibantah oleh beberapa ahli karena tidak sesuai dengan beberapa fakta yang diungkap oleh temuan penelitian para sejarawan.

Teori jalur timur didasarkan kepada intensifnya jalur perdagangan melalui sungai-sungai yang mengalir dari gugusan bukit barisan ke selat Malaka yang dilayari oleh para pedagang termasuk pedagang Arab untuk mendapatkan komoditi lada dan emas. Intensifnya jalur dagang ini malah dipandang sudah berlangsung berabad-abad bahkan sebelum kelahiran agama Islam. Pelayaran ke selat Malaka ditempuh melalui lembah Sinamar di sekitar Buo dan Sumpur Kudus, melintasi Silukah, Durian Gadang menuju sungai Indragiri atau melintasi Padang Sarai yang terletak di jalur anak sungai Kampar Kiri. [7] Perebutan monopoli perdagangan lada antara kekhalifahan Umayyah dan Dinasti T’ang mendorong pedagang-pedagang Muslim untuk mengambil langsung komoditi lada dari wilayah Minangkabau Timur.[8] Kesimpulan masuknya Islam ke Minangkabu pada abad ke 7 M ini juga lahir pada seminar masuknya Islam ke Minangkabau yang diadakan di Padang pada tahun 1969.[9] Sumber lain menyebutkan Pada tahun 100 Hijriyah (718 Masehi) Maharaja Sriwijaya bernama Sri Indrawarman mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang berisi permintaan kepada Khalifah untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam kepadanya. Dalam surat itu tertulis:

" Dari Raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun adalah cucu dari ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil. Kepada Raja Arab yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah. Aku telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak seberapa sebagai tanda persahabatan. Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk menjelaskan ajaran Islam dan segala hukum-hukumnya kepadaku.". (Surat Maharaja Sriwijaya, Sri Indrawarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz)[10].

Sumber di atas menggambarkan bahwa hubungan diplomatik Nusantara dengan Dinasti Umayyah sudah terjalin mulai dari abad ke 8 M atau bahkan sudah mulai dari abad ke 7 M.
Sebagaimana ditulis Mas’ud Abidin, awal abad ke-7 M atau abad I Hijriah rantau timur Minangkabau telah menerima dakwah Islam. Bahkan J.C. van Vanleur dalam bukunya Indonesian Trade & Socety (1955) menyatakan bahwa pada permulaan tahun 674 Pantai Barat Sumatera telah dihuni koloni Arab. [11]

Sedangkan asumsi masuknya Islam ke Minangkanau melalui pesisir barat didasari oleh intensifnya kegiatan perdagangan pantai barat Sumatera pada abad 16/ 17 M sebagai akibat dari kejatuhan Malaka ke tangan Portugis. Pada masa ini pengarug kekuasaan Aceh  Darussalam (pelanjut kekuasaan Samdera Pasai) sangat besar. Intensifnya perkembangan Islam pada masa inilah dinilai oleh beberapa kajian peneliti dijadikan sebagai dasar kajian masuknya Islam ke Minangkabau yang sering dihubungkan dengan Syekh Burhanuddin Ulakan ( 1066 H/ 1646 M – 1111 H/ 1691 M ) yang merupakan murid Syekh Abdurrauf Singkel. Burhanuddin Ulakan lakan belajar di Aceh kepada Abdurrauf selama 10 tahun. [12]

Syekh Burhanuddin Ulakan meninggal + dalam usia 45 tahun dan dipandang sebagai penggagas pendidikan dengan menjadikan Surau sebagai model dan sentralya. Dalam konteks peranan Burhanuddin Ulakan sebagai pembawa agama Islam ke Minangkabau ini, melalui fakta-fakta sejarah telah dibantah oleh Mahmud Yunus. Pertama, Mahmud Yunus mengemukakan alasan bahwa sebelum belajar di Aceh kepada Abdurrauf Singkel, Burhanuddin telah terlebih dahulu belajar di kampung halamannya kepada beberapa orang guru. Hal ini menunjukkan bahwa Islam sudah berkembang sebelum Burhanuddin. Fakta kedua menjelaskan bahwa ada tiga muballig Minangkabau yaitu Datuk ri Bandang, Datuk Patimang, dan Datuk ri Tiro pergi menyiarkan Islam ke Sulawesi pada tahun 1603 M yang pada saat itu Burhanuddin belum lahir. Fakta ini menunjukkan bahwa Islam sudah berkembang di Mingkabau sebelum Burhanuddin. Berdasarkan ini, Mahmud Yunus berkesimpulan bahwa Burhanuddin Ulakan bukanlah pembawa Islam pertama ke Minangkabau, namun diakuinya bahwa Burhanuddin adalah orang yang pertama mendirikan lembaga pendidikan Surau secara teratur dan tersistem sebagaimana mengikuti pola dan sistem pendidikan gurunya Abdurrauf Singkel di Aceh.[13]

Ketiga, Mahmud Yunus juga mengungkapkan tentang adanya tokoh Burhanuddin di Kuntu Kampar Kiri yang wafat pada tahun 610 H/ 1191 M yang dipandang jauh lebih awal dari pada Burhanuddin Ulakan. Menurut Mahmud Yunus, Burhanuddin Kuntu mula-mula mengajar di Batu Hampar dan menetap di sana selama 10 tahun, kemudian pindah ke Kumpulan (dekat Bonjol) dan mentap selama 5 tahun, dari Kumpulan beliau pergi ke Ulakan Pariaman dan mengajar selama 15 tahun, sampai akhirnya pergi ke Kuntu Kampar dan mengajar selama 20 tahun sampai beliau meninggal pada tahun 1191 M dan dimakamkan di Kuntu.[14] Peranan Burhanuddin Kuntu ini dalam islamisasi kerajaan Pagaruyung juga diungkap oleh Imam Maulana Abdul Manaf dalam Kitab Muballigul Islam sebagaimana dikutip Irhash Shamad.[15]



[1]  Azra, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII,  (Bandung: Penerbit Mizan, Cet II, 1994)
[2] Azra, ibid., Untuk menguatkan pendapatnya, Azra mengutip tulisan T.W. Arnold, The Preaching of Islam: A. History of the Propagation of the Muslim Faith, ( London: Constable, 1913)
[3] Sebagaimana dijelaskan oleh Azra, al-Attas beralasan bahwa adanya impor batu Nissan dari Gujarat ini lebih didasarkan karena dekatnya jarak geografir kedua daerah ini lebih dekat ketimbang Arabia. Lihat Azra,
[4]. Lihat Azra, Ibid.,  dan A.H. Johns, “Sufism as a category in Indonesion Literature and History:, JSEAH, 2, II, 1961 Lihat pula H.A.R Gibb, ´An Interpretation of Islamic History II”, MW,45,II, 1955, h. 130 dan R.W. Bulliet, “Conversion to Islam and the Emergence of a muslim Society in Iran”, dalam Levtzion (penj), Conversion to Islam
[5] Ibid
[6] Lihat Azra, op.cit.,h. 35-36, dan M.G.S. Hodgson, The Venture of Islam, II Chicago: University of Chicago Press, 1974, h. 1-368.
[7] Irhash A. Shamad dan Danil M. Chaniago, Islam dan Praksis Kultural Masyarakat Minangkabau, (Jakarta: Tintamas, 2007),
[8] Mansoer, dkk., Sejarah Minangkabau, (Jakarta: Bhratara, 1970), h. 44-45
[9] Seminar diselenggarakan atas kerjasama Center for Minangkabau  Studies, LKAAM dan BKPUI di IAIN Imam Bonjol Padang yang dihadiri oleh 268 peserta. Peserta yang hadir di antaranya Hamka, Zakiyah Darajat, Mukti Ali, Sidi Gazalba, Ibrahim Buchari, Amura, M.O Parlindungan, Alfian, Zuber Usman, Muhammad Rajab, MD. Mansoer, dll. Lihat Irhash A. Shamad , op cit., h. 26
[10] Azyumardi Azra,  Islam in the Indonesian world: an account of institutional formation. Mizan Pustaka. 2006.
[11] Ketika itu Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang telah menyebarkan  agama Hindu ke Nusantara dari abad ke-7 hingga ke-13 M. Kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Di abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaituMalayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya.  Masuknya Islam pada masa itu menimbulkan persaingan perdagangan sekaligus pengaruh untuk mengembangkan agama masing-masing. Sebagaimana pernah terjadi persaingan sengit antara angkatan Laut Sriwijaya dengan pedagang Islam di Malaka. Pedagang muslim Arab dan Parsi akhirnya menuju pesisir timur dan barat Sumatera. Kemudian akibat ‘perkawinan politik’ antara saudagar Islam dengan putri kerajaan setempat, maka terbentuklah kerajaan Islam Perlak dengan sultan pertamanya Syekh Maulana Abdul Aziz Syah  yang menganut Islam Syiah (840 M-888/913 M). Namun akhirnya di Perlak juga berkembang aliran Sunni. Sriwijaya kembali menyerang Perlak namun kemudian dimenangkan oleh Perlak. Setelah itu Perlak dipimpin oleh seorang Sunni yaitu Sultan Makhudum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan berdaulat (1006 M). Sriwijaya kemudian berhadapan dengan Kerajaan Darma Wangsa di Pulau Jawa, setelah itu dengan Majapahit, dan Majapahit menang sejak tahun 1477 M. Seluruh Pantai Timur Minang jatuh ke tangan Majapahit sampai akhirnya Majapahit lemah setelah raja Hayam Wuruk meninggal. Semenjak itu pula kerajaan Pagarruyung diperintah oleh Adityawarman. Sementara itu tahun 1400 Malaka dan Samudera Pasai, masing-masingnya menjadi kota dagang dan kerajaan Islam. Pengaruh Islam berkembang sampai ke Pantai Barat Minang. Akan tetapi, dinamika perkembangan dakwah Islamiyah agak lamban di sana, sebab sering terjadi pertentangan mazhab Syiah dengan Sunni di Aceh dan masalah perebutan Selat Malaka. Kemudian rantau Alam Minang sudah mulai didominasi pemeluk Islam. Sementara Yang Dipertuan Adityawarman masih memeluk Budha. Baca, Mas’ud Abidin, Piagam Sumpah Sati Bukik Marapalam, http://www.pandaisikek.net/  , (Download tgl. 30 September 2012).
[12] Irhash A. Shamad, ibid.,
[13] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara, 1979) cet. II.,
[14] Sebagai peninggalan Burhanuddin Kuntu, didapati sampai sekarang sebuah stempel dari tembaga dengan tulisan Arab, sebelah pedang, sebuah kitab yang bernama Fathul Wahab karangan Abi Yahya Zakaria Anshari. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Ibid.,. Pada sumber lain juga dijelaskan bahwa Burhanuddin Kuntu sebagaimana hasil penelitian Darusman yang dikutip Irhash Shamad diceritakan bahwa Burhanuddin Kuntu sering mengunjungi pemuka massyarakat untuk kepentingan dakwahnya. Diceritakan juga, mula-mula Burhanuddin Kuntu menetap di rumah seorang pemuka masyarakat yang bergelar Datuk Makhudum. lihat Irhash A. Shamad, Islam dan Praksis Kultural Masyarakat Minangkabau, op cit., Baca juga, Darusman, Syekh Burhanuddin dan Pengembangan Islam di Kuntu Kampar Kiri Abad XIII, (Skripsi), (Padang: Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab IAIN IB Padang, 1994),
                [15] Irhash Shamad, Islam.